Presiden Donald Trump disebut akan menandatangani sebuah keputusan pemerintah yang berpotensi membungkam media sosial. Hal ini terjadi menyusul kejadian Twitter menandai kicauan Presiden Amerika itu sebagai “tidak benar”.
Beberapa waktu lalu, Twitter menerapkan sistem label pada tweet yang mengandung fakta meragukan. Label yang menyarankan agar pengguna melakukan cek fakta ini muncul karena banyaknya berita hoax soal pandemi COVID-19.
Label meragukan ini pun mampir di tweet Presiden Trump.
Twitter Menandai Kicauan Presiden Trump
Presiden Trump memang sudah terkenal hobi nge-tweet. Tidak jarang tweet sang presiden ini memancing kontroversi. Bahkan menjadi meme di internet.
Pada hari Senin, 25 Mei 2020, Twitter menandai tweet Presiden Trump mengenai keamanan proses mail-in ballots (pemberian suara untuk pemilu melalui surat). Twitter mengangap kedua tweet tersebut menyalahi “Kebijakan integritas kewarganegaraan” yang membatasi pengguna untuk menyebar “informasi menyesatkan tentang prosedur untuk berpartisipasi dalam proses kewarganegaraan (misalnya, bahwa memilih dapat dilakukan dengan Tweet, pesan teks, email, atau panggilan telepon di wilayah yang tidak memungkinkan hal ini).”
Presiden Trump kemudian menanggapi bahwa Twitter justru melakukan hal tersebut. Ia menyebutkan dalam tweet-nya kalau “(perusahaan) Teknologi Besar melakukan segala upaya dengan segala daya untuk menyensor kemajuan pemilu 2020.” Presiden Trump pun menambahkan kalau ia “tidak akan tinggal diam.”
Rancangan Keputusan Presiden
Menyusul kejadian ini, Presiden Trump dikabarkan bersiap menandatangani keputusan presiden (executive order) yang bisa melemahkan posisi media sosial. Keputusan ini akan mencabut perlindungan media sosial yang ada di Communications Decency Act di bawah Section 230.
Section 230 pada Communications Decency Act memberi perlindungan hukum pada platform online untuk melakukan moderasi di situs mereka sesuai kebijakan yang mereka miliki. Penyedia layanan tidak diperlakukan sebagai penerbit atau pembicara dari konten yang dibuat oleh pengguna lain.
Kabar mengenai rancangan keputusan presiden ini tentu saja memancing kehebohan. The Guardian menyebutkan kalau para akademisi menganggap keputusan Presiden Trump ini “tidak punya gigi” secara hukum, hanya mengalihkan perhatian dari fakta kalau korban meninggal akibat Covid-19 di Amerika sudah mencapai 100.000 jiwa.
Di sisi lain, keputusan presiden itu dianggap bisa lebih memunculkan bahaya. Kalau media sosial dibungkam dari sisi moderasi, konten di internet bisa berjalan liar dan penuh manipulasi.
Konfrontasi Meluas
Melansir The New York Times, ada hal menarik lain. Konfrontasi Twitter dengan Presiden Trump ini memancing perdebatan di Silicon Valley.
Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, menyatakan dalam wawancara di Fox News kalau Twiitter tidak layak menandai tweet Presiden Trump. “Saya percaya kalau Facebook tidak akan jadi hakim atas semua yang dikatakan orang di internet.”
Jack Dorsey, CEO Twitter, kemudian membalas melalui sebuah tweet, “Hal ini (penandaan tweet) tidak membuat kami menjadi ‘hakim’, tujuan kami adalah menghubungkan pernyataan yang meragukan dan menunjukkan informasi terkait sehingga setiap orang bisa menilainya sendiri.”
Facebook sendiri bukannya tanpa dosa. Sebelum ini Facebook sudah sempat terganjal oleh berbagai kasus. Mark Zuckerberg sendiri pun menghadap kongres sehubungan dengan hal itu.
Yah, Suka tidak suka, media sosial memang merupakan ladang kontroversi. Menjelang pemilu Amerika, kelihatannya kontroversi Presden Trump di Twitter pun akan semakin ramai.